Jam sebelas lebih sepuluh. Itu artinya, sudah hampir satu jam aku dibuat
menunggu oleh Michael. Aku tak habis pikir, ini sudah yang ketiga
kalinya aku melayani anak bos itu, dan tiap kali selalu saja ia datang
telat dari janji yang dibuatnya sendiri. Kalau dibilang ia segan
menemuiku, sangatlah tidak mungkin, mustahil, kami saling menyukai, dia
menyukai tubuhku dan aku menyukai uangnya. Kalau ia kapok, ia pasti tak
akan “memanggil”-ku lagi, apalagi sampai tiga kali.
Tapi sebagai
seorang pekerja yang baik, aku memang harus siap menghadapi pelanggan
semacam Michael, aku tak boleh banyak protes. Aku pun ingin bekerja
secara “profesional” seperti apa yang sering didengungkan oleh
orang-orang yang duduk di kantoran. Kurasa, profesionalisme bukan hanya
milik sebagian orang saja, seorang pekerja seks-pun pasti akan lebih
laris kalau ia bekerja secara profesional. Benar tidak? Karena itu, aku
menurut saja ketika kemarin malam, Michael memintaku datang jam setengah
sebelas di hotel ini, tempat kami biasa check-in sebelum ini, sebuah
hotel yang sewa kamarnya saja mencapai tarif 600 ribu semalam.
“Sudah
lama nunggunya?” tiba-tiba Michael menepuk pundakku dari belakang
sampil tersenyum padaku, memamerkan kedua lesung pipinya yang luar biasa
menawan.
Michael memang remaja yang ganteng, aku akui. Sekilas,
orang tak akan menyangka kalau orientasi seks-nya lebih kepada sesama
laki-laki daripada kepada lawan jenisnya. Kulitnya putih dan badannya
bersih, belum lagi bodinya yang ramping dan penampilannya yang sangat
cool. Tak berlebihan, jika aku lantas mulai menyukainya juga, meski
sebelumnya aku tak pernah benar-benar menyukai laki-laki. Aku sebenarnya
terlahir sebagai lelaki normal, namun mungkin karena profesiku inilah
yang terkadang menuntutku untuk melakukan “kontak” dengan lelaki, yang
pada akhirnya membuat orientasi “seks”-ku menjadi kacau.
“Yah,
lumayan lama juga nunggunya. Hampir satu jam. Kenapa telat?” tanyaku
seraya bangkit dari sofa di lobby hotel, tempat aku menunggu sejak satu
jam yang lalu. Kami lantas berjalan beriringan mendekati meja
resepsionis untuk selanjutnya menuju sebuah kamar di lantai tiga yang
sudah di-booking Michael.
“Sorry, aku baru pulang clubbing.”
sahut Michael sambil merangkulku. Sudah biasa, kalau remaja kota
seumuran Michael yang masih kelas 2 SMU sering menghabiskan waktunya
keluyuran bersama teman-temannya, ia selalu menyebutnya “clubbing”.
Entahlah, apa saja yang mereka lakukan di luar sana, aku tak begitu
peduli, lagipula itu bukan urusanku.
Ketika kami berdua
menyusuri lorong lantai tiga, Michael tampaknya sudah mulai tak sabar
melepaskan hasratnya, ia merangkulku lebih erat. Kali ini bukan di
pundak, namun di pinggangku. Dan tangan kirinya yang mulai gatal,
mengelus-elus perutku. Sesekali ia menciumi lengan dan leherku. Untung
saja, lorong hotel itu begitu sepi dan tak ada seorangpun yang
melihatnya. Tak berapa lama kemudian, tibalah kami di depan pintu kamar
335. Michael langsung memasukkan anak kunci ke lubangnya, dan kemudian
memutarnya untuk membuka pintu. Setelah kami masuk, Michael langsung
mengunci kembali pintu kamar.
Di balik pintu itulah, Michael
langsung memelukku. Kami saling berpagutan lidah satu sama lain untuk
beberapa lama. Aku mulai merasakan sentuhan bibir hangatnya melekat di
bibirku. Michael memang hebat sekalipun usianya masih belia, bahkan
terpaut lima tahun lebih muda dariku, tapi untuk urusan yang satu ini,
ia seperti seorang yang sudah sangat berpengalaman.
Aku lantas
membimbing Michael menuju kasur empuk yang ada di dalam kamar itu, aku
membanting tubuhnya, menindihnya sambil tetap berpagutan satu sama lain.
Tak puas sampai di sana, tanganku mulai beraksi mempreteli satu per
satu pakaian yang melekat di tubuh Michael, T-shirt merahnya, sampai
kaos oblong yang dipakainya. Lalu, aku mulai melonggarkan sabuk kulitnya
untuk mempermudah memelorotkan celana jeans yang dipakai Michael.
Sepatu sportnya pun tak ketinggalan, ku tanggalkan juga. Tak ada
selembar pakaian pun yang kusisakan selain celana dalam putih dan kaus
kaki yang dipakainya, dan luar biasanya ia malah tampak lebih tampan
dengan keadaan telanjang seperti itu, apalagi dengan seuntai kalung emas
yang berkilatan melingkar di lehernya. Dan kini, pemandangan indah itu
terbentang tepat di depan mataku.
Michael pun tak mau kalah, ia
juga melucuti pakaianku satu per satu. Aku malah dibuatnya telanjang
bulat. Lalu, ia membalikkan tubuhku dalam posisi telentang. Michael
mengangangkan kakiku sedikit lebih lebar dan kemudian ia menghisap
batang rudalku. Dikulumnya dan dibawanya keluar masuk mulutnya, sampai
sepanjang penisku basah oleh air liurnya.Aku mengerang, sambil merasakan
gigitan-gigitan nakalnya di penisku, bahkan sampai ke buah pelirku.
Sesekali ia mencengkeram penisku dan menjilati ujungnya dan bagian
kulupnya bergantian. Aku tak tahan merasakan rasa geli di bagian bawah
sana, geli yang bercampur nikmat.
Setelah tiba giliranku, maka
aku pun berbuat tak kalah liar dengan apa yang dilakukan Michael tadi.
Aku pun menikmati batang kejantanan Michael yang panjangnya tak kurang
dari 15 cm itu dengan bulu-bulu halus yang mulai memanjang yang tumbuh
liar di seputar kemaluannya. Aku memberikan servis terbaikku untuk
pelangganku yang satu ini, karena aku memang mulai menyukainya. Bahkan
untuk dia, sekalipun aku tak dibayar kali ini, aku rela. Tapi Michael
bukan tipe orang yang suka diberi servis gratis, ia sangat mengerti,
kalau aku hidup dari bekerja seperti ini, kalau tak dibayar, maka aku
tak dapat uang hari ini.
Malam itu kami bertempur habis-habisan.
Aku tak bisa menceritakan semuanya secara detail, karena selebihnya
dari foreplay itu, aku tak ingat lagi secara detail apa saja yang kami
lakukan. Yang jelas, kami melakukan yang lebih baik dari pertemuan
sebelumnya, bahkan saat kami mulai mandi bersama untuk membersihkan
badan seusai bertempur, jam dinding di kamar hotel sudah menunjukkan
pukul 4 pagi.
“Kau mau kuantar pulang?” kata Michael esok siangnya selepas kami bangun tidur.
Ia
berbaring disisiku dan menggenggam sebelah tanganku. Dengan setengah
mengantuk, aku membalikkan badanku berhadapan dengan Michael.
“Tak usah repot-repotlah. aku naik taksi saja, ok?” sahutku dengan suara lemah.
Michael
kemudian berbalik, ia mengambil celana jeansnya yang tergeletak di meja
dekat kasur dan kemudian mengambil dompetnya. Kemudian ia menyodorkan
sepuluh lembar uang seratus ribuan kepadaku. Lagi-lagi, ia tersenyum,
aku juga balas tersenyum sambil menerima uang jasaku untuk semalam,
“trims.”
“Kau yakin tak mau diantar? Tak keberatan kan kalau aku
ke tempat kosmu?” tanya Michael sekali lagi. Sesaat aku hanya diam, aku
mengelus muka Michael yang bersih.
“Maaf aku tak bisa menerima
tawaranmu. Lebih baik jika kamu tidak tahu dimana kosku, kau bisa
menelponku lagi jika butuh servisku. atau barangkali untuk sekedar
melepas kangen.” gurauku.
“Kalau begitu, aku masih butuh servismu satu hari ini lagi, bagaimana?”
“Memangnya kamu nggak pulang? nggak dicari orang tua nih?”
“Orangtuaku di luar kota, jadi aku punya sedikit kebebasan.”
“Okelah kalau begitu. Aku juga kebetulan nggak ada janji hari ini,”
Jadilah
selama dua hari itu aku menemani Michael yang “kesepian” ditinggal oleh
orang tuanya. Jam sebelas siang, kami beranjak dari kasur dan mandi.
Bahkan ketika kami di dalam bath tub pun, kami masih tak cukup puas
untuk menyalurkan hasrat kami masing-masing. Dalam keadaan yang
sama-sama telanjang bulat, kami bergumul di dalam bath tub yang sempit
itu. Asyik dan jauh lebih seru daripada semalam, dengan bermandikan
busa-busa sabun yang melumasi badan kami saat itu.
“Vian, aku
mau ngoral.” pinta Michael sambil meremas batang rudalku di dalam air
hangat yang memenuhi bath tub. Aku pun menurut saja, apalagi rudalku
saat itu sudah melesak karena full ereksi dengan panjangnya yang 15 cm
itu, tak jauh beda dengan punya Michael.
Aku menarik badanku,
merangsek ke bibir bath tub dan duduk di atasnya. Muka Michael di
dekatkan ke kepala penisku, makin lama makin dekat, dan akhirnya,
“Plok.”
Michael mencaplok penisku, kemudian menghisapnya maju mundur
dengan nikmatnya. Otomatis, aku tak kuasa menahan kenikmatan yang
kurasakan saat itu, aku mendesah, mengerang dan menggelinjang sambil
menikmati permainan Michael.
Michael cukup lama mengoralku saat itu.
“Kau
liar juga, Mich.” kataku sambil mengelus rambutnya, sambil sesekali
mendorong perlahan kepalanya untuk memasukkan penisku ke dalam mulutnya
yang mungil.
Michael melirikku dari bawah sana, ia hanya tersenyum menanggapi kata-kataku barusan.
Setelah
Michael puas mengoralku, sampai spermaku pun muncrat memenuhi mukanya,
aku mengangkat tubuh Michael, kemudian mendudukkannya di tempat dimana
aku duduk tadi.
“Sekarang giliranku.” kataku sembari mencengkeram penis Michael yang keras membatu.
Michael
pun pasrah saja, ketika aku mulai memasukkan penisnya yang kemerahan
dan tak bersunat itu ke dalam mulutku, menghisapnya dengan berirama
keluar masuk mulutku. Lama kelamaan, kurasakan penis Michael makin
kenyal seiring dengan cairan hangat yang kurasakan menyemprot masuk dari
penis Michael ke dalam kerongkonganku. Sampai-sampai aku dibuat
tersedak karenanya.
“Vian, minggu depan aku akan ke Paris, ke
tempat Opaku. Namun, mungkin aku tak akan kembali kemari sampai libur
natal nanti.” kata Michael sesaat setelah kami memutuskan untuk
beristirahat di dalam rendaman air hangat. Kami saat itu duduk
berhadapan di dalam bath tub, aku memandang Michael dengan tatapan penuh
tanda tanya. Apakah ini berarti aku akan kehilangan satu pelanggan
setiaku lagi.
“I”m sorry. Aku akan melanjutkan SMU-ku di Jerman.
Mulai bulan depan, awal semester baru disana. Sebenarnya, berat juga
meninggalkan teman-temanku di sini, tapi mau bagaimana lagi? Aku
terpaksa.” tutur Michael dengan muka muram.
Saat itu, barulah
terlihat tekanan batin yang ia rasakan saat ia harus mengikuti kemauan
orang tuanya. Michael banyak bercerita tentang watak kedua orang tuanya
yang keras, sehingga dari sana pula, aku dapat mengambil sebuah
kesimpulan bahwa Michael termasuk salah satu dari jutaan anak yang
kurang mendapat pelukan kasih sayang dari seorang ayah, mirip dengan
kisah perjalanan hidupku yang besar tanpa tahu siapa ayahku.
Dari
kurangnya kasih sayang itulah, Michael lantas mencoba mencari kasih
sayang di luar dengan caranya sendiri dengan memanfaat fasilitas materi
yang diberikan oleh orang tuanya. Ia memang termasuk kaya untuk ukuran
anak seusianya, meski semua yang ia miliki adalah kepunyaan bapaknya.
Dengan
pekerjaanku ini, entah sudah berapa banyak aku menemui orang-orang yang
seperti Michael, baik pria atau pun wanita. Kebanyakan dari mereka
adalah orang-orang yang kesepian, mengalami kehampaan hidup, dan
berusaha memperolehnya dariku. Padahal aku sendiri, kalau mau jujur, aku
pun adalah seorang yang sangat kesepian, terkadang aku malah berpikir
bahwa hidupku ini tak ubahnya seperti sampah yang berbau busuk, bahkan
sudah tak ada harganya lagi. Untung saja, sepak terjangku di dunia hitam
ini tak sampai menyisakan penyakit kelamin bagiku, jika tidak, aku
bukan hanya hidup sebagai sampah, namun mati pun akan sebagai sampah.
Berpisah
dari Michael sebenarnya juga menjadi penolong bagiku untuk lepas dari
profesiku sebagai gigolo. Beberapa bulan setelah kepergian Michael, aku
pun memutuskan untuk meninggalkan kota ini. Dengan sisa tabunganku, aku
merantau untuk bekerja di negeri kangguru sampai detik ini, namun
tentunya tak lagi mengulang statusku yang lama, pekerjaanku benar-benar
halal.
E N D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar