“Tom, kau dipanggil Boss,” kata Ronald teman seruangku.
“Ada apa ya, Ron?” tanyaku sekenanya.
Kumasuki ruang Bossku yang luas dan nyaman. Dihadapannya ada dua orang tamu pria yang sedang berbincang dengan Boss.
“Oh
ya Tom, ini kenalkan Bapak Edward dan yang ini Bapak Kris. Tugasmu
adalah mendampingi mereka selama 2 minggu kunjungan di kantor ini.
Pokoknya coba bantu sepenuhnya segala keperluannya. Be carefull, okey!”
kata Bossku.
Aku tidak bisa tanya atau menolak keinginannya. Pokoknya
kerjakan saja, pasalnya Bossku itu mantan tentara. Selama tugas luarku,
aku bebas dari kerjaanku sehari-hari. Ternyata Mr. Edward dan Mr. Kris
adalah orang dari Kantor Pusat yang bertugas melakukan inspeksi. Kami
semua repot dibuatnya. Tapi aku harus memberikan pengawalan kepada
mereka berdua.
Suatu saat aku terpaksa harus kembali ke apartemen untuk mengambil
tas kerja Mr.Edward. Dengan tergesa-gesa aku menuju ruang tidurnya.
Kubuka lemarinya dan kuambil tas tersebut, tapi aku tiba-tiba
terperangah melihat sebuah majalah pria bule bugil di dekatnya.
Pikiranku segera paham tentang siapa Mr.Edward itu. Tapi sebagai utusan
perusahaan aku tidak boleh mempermasalahkan hal itu. Aku segera bergegas
ke tempat rapat di sebuah ruang VIP di hotel besar di Kuningan. Malam
Minggu aku bebas dari tugas, karena bisa dibilang tugasku 24 jam selama 5
hari kerja mendampingi mereka berdua. Malam sudah larut, namun
tiba-tiba HP-ku memanggil. Itu pasti panggilan tugas, karena untuk
mendampingi mereka aku khusus disediakan HP dinas dan mobil sedan.
“Selamat malam, Pak. Ada yang bisa aku bantu?” tanyaku sopan.
“Ma’af, ini rumah Bapak Tommy?” tanya seseorang yang suaranya tidak kukenal.
“Betul, Pak. Ada kabar apa, Pak?” tanyaku lagi.
“Ma’af,
apa Pak Tommy bisa kemari (ia menyebutkan nama hotel dan ruangnya)
karena ternyata rekan bapak perlu diantar pulang.” lanjutnya.
Aku
segera menuju ke sana. Ternyata mereka berdua sedang dalam kondisi
setengah mabuk, dengan wajah yang sayu dan terbaring di sofa restroom.
Setelah mereka yakin bahwa aku adalah yang dihubungi, maka aku dibiarkan
saja di ruang itu.
“Terima kasih Pak,” kataku pada seorang satpam yang ternyata tadi menghubungiku.
“Saya antar mereka berdua pakai mobilku saja. Saya titipkan mobil mereka di sini, bisa nggak?” tanyaku pada satpam tadi.
“Beres, Pak. Nanti saya uruskan.”
Ia segera kuberikan kunci mobil yang tadi ada di kantong Mr. Kris.
“Tolong saya dibantu memapah mereka ke mobil,” pintaku.
Si satpam dengan sigap membantu memapah mereka satu persatu. Setelah memberi tips kutinggalkan hotel tersebut.
Sambil mengemudi kunyalakan lagu klasik. Sekali lagi aku terkejut
manakala Mr. Edward memegang tanganku. Rupanya ia sudah hampir pulih
kesadarannya.
“Ini di mana Tom?” tanyanya, dengan bau alkohol yang tajam.
“Dalam perjalanan pulang, Pak. Tadi Bapak minum berlebihan sehingga saya harus antar Bapak pulang,” jelasku perlahan.
“Thanks Tom,” lalu ia tertidur lagi.
Giliran di hotel, mereka aku minta bantuan bagian keamanan memapah mereka ke ruang masing-masing.
“Tom, tolong gantikan pakaianku,” pinta Mr.Edward.
Segera
aku beranjak memilihkan pakaian kimono untuknya. Kulepaskan satu
persatu pakaiannya yang basah oleh keringat dan tercium bau parfum
“GUFO” bercampur alkohol. Kutinggalkan pakaian dalamnya yang berwarna
hitam dengan lambang “G. Versace”, amat kontras dengan kulitnya yang
putih bersih dan bulu-bulu lebat di dada dan seluruh tungkainya.
“Tom, tolong dibasuh dulu dengan air hangat,” katanya masih setengah mengantuk.
Akupun
melakukannya. Dengan air hangat dan handuh halus perlahan kuusap-usap
wajahnya pertama kali. Tampak olehku wajahnya yang tampan dan bersih
tapi masih maskulin. Perlahan gerakanku bergerak ke bawah dan membasuh
dadanya yang bidang. Posturnya proporsional walaupun tidak terlalu
dilatih baik. Pasti banyak wanita yang mengandrunginya, kataku dalam
hati. Tapi aku ingat pengalamanku tempo hari. Ah, bukan urusanku.
Akhirnya aku selesai membersihkan bagian depan tubuhnya. Segera
kubalikkan tubuhnya dan sedikit terkejut, ternyata punggungnya pun
ditumbuhi bulu-bulu cukup lebat sampai setengahnya. Seksi sekali dia!
Kubasuh tubuhnya perlahan seakan takut membangunkan dirinya hingga
seluruhnya. “Tom, tolong gantikan jockeyku,” tiba-tiba ia mengagetkan
aku lagi dengan permintaannya.
“Baik, Pak,” kataku singkat saja.
Perlahan
kutarik tali kecil CD-nya dan tampaklah kedua pinggulnya yang bulat dan
ditumbuhi bulu dicelah pahanya sampai kesekitar “asshole”-nya. Lebat
bulu-bulunya menghalangi pandangan mataku untuk dapat menikmati
asshole-nya. Ah, seandainya… pikiran nakalku menari-nari menggodaku.
Segera kupupus pikiran itu. Tapi aku tak kuasa menahan laju gerakan
otomatis dibalik CD-ku, yang secara pasti mulai tumbuh membesar. Akh,
aku harus menahannya. Karena pinggulnya belum kubasuh, maka dengan
handuk hangat kubasuh perlahan. Kurasakan ia menggerakkan tubuhnya
memeluk guling dan menarik sebuah kaki kanannya ke atas. Akh, tampaklah
asshole-nya yang kemerahan menantang gairah nafsuku. Dan aku terkejut
manakala kudapati tatoo kecil didekat asshole-nya bertuliskan “Please…”
yang tertutup oleh lebatnya bulu-bulu tubuhnya. Membaca tatoo tersebut
membuatku mulai berani bertindak lebih jauh. Kini usapanku bukan lagi
untuk membersihkan tubuhnya, melainkan memberikan rangsangan nakal di
daerah yang selalu menjadi daerah idamanku selama ini.
Kuambil lotion dan kupijat dengan teknik pijat gaya pijatan cinta
yang pernah kupelajari dari sebuah buku. Kurasakan pinggulnya mulai
bergerak perlahan merespon gerakan tanganku. Pinggulnya mulai terangkat
dan kudengar bibirnya memanggil namaku pelan. Aku pun paham isyarat itu.
Kini pijatanku mulai meluas ke bagian atas tubuhnya, pundaknya,
lehernya, bahunya dan seterusnya. Lidahku dengan lihainya memberikan
rangsangan di belakang telinganya. Ia mengerang dan menarik leherku dan
menciumku dan melumat lidahku dengan ganasnya. Bau alkohol sudah tidak
terasa olehku. Aku pun membalasnya dengan tak kalah hot-nya. Ia
membalikkan tubuhnya dan menarikku di atasnya. Kami berciuman cukup lama
sampai kami hampir kesulitan bernafas. Aku lalu bangun dan mulai
membuka kancing kemejaku. Ia tampak mengagumi otot-otot tubuhku yang
keras terlatih. Kini aku berada di pangkuannya dan kurasakan batang
kemaluannya mengarah ke atas menggesek kemaluanku yang berontak ingin
bebas. Sekali lagi kami berciuman dengan hot. Hanya desah nafas kami
yang terdengar di ruang itu diiringi keringat yang banjir walaupun AC
ruangan itu amat dingin.
“Tom, aku butuh kau. Please, Tom,” ia merengek manja di teligaku.
“Tapi Mr. Ed…” ucapanku dipotongnya dengan meletakkan sebuah jarinya di bibirku.
“Jangan
panggil aku begitu saat ini. Panggil saja dengan “Sayang”, Tom. Edward
ada di kantor saat ini, yang ada saat ini adalah aku apa adanya. Aku
yang membutuhkan belaianmu, kehangatanmu, tubuhmu, cintamu. Lain tidak,”
katanya lembut.
“Lepaskan pakaianmu semuanya, Tom. Aku ingin menikmatinya.”
Perlahan
aku turun dan kulepas pakaianku. Kulihat tatap matanya hendak
melahapku. Ia menarikku dan kuhampiri dirinya hingga kini aku duduk di
atas dadanya dan ujung batang kemaluanku berada persis di depan
wajahnya. Kupandangi wajahnya yang tampan dengan lahapnya melumat batang
kemaluanku. Tak kusangka ia berusaha menelan seluruhnya, namun ia
tiba-tiba “choking”. Tampak air mata mengalir di pipinya, mungkin
menahan rasa ingin muntahnya. Kutahan wajahnya agar tidak melalakukannya
lagi.
“Tom, kau ingin menyetubuhi aku?” tiba-tiba ia bertanya dengan lembut.
Aku
menggeleng dan segera aku beringsut melakukan manuver lembut dengan
memakai lidahku, bibirku dan belaian tanganku yang lembut mulai dari
bagian atas tubuhnya.
Amat perlahan sehingga aku berulang kali mendengar namaku dipanggilnya karena sensasi nikmat yang dirasakannya.
“Tom, aku tak tahan. Tom… Tom…”
Aku
tak pedulikan itu. Yang ada dalam pikiranku adalah kenikmatan tertinggi
buatnya dan buatku malam itu. Berkali-kali ia mengangkat kedua kakinya
tinggi-tinggi dan membuka lebar belahan pahanya untuk memberi kesempatan
padaku. Namun kubiarkan saja, malah kulakukan ciuman lembut dan gigitan
kecil di betisnya dan kakinya yang berbulu lebat. Ibu jari kakinya
kuisap pelan dan lembut. Erangannya makin menggila. Setengah jam
kuperlukan untuk menikmati keindahan tubuhnya dan sekaligus
merangsangnya. Kubalikan tubuhnya perlahan dan ia pasrah total. Dan kini
seranganku menjelajahi bagian tubuh belakangnya. Kadang kugigit dan
kutarik bulu-bulunya dan ia mengerang manja dan memanggil namaku.
Lidahku kini mulai membelai asshole-nya, dan diangkatnya pinggulnya
setinggi mungkin sehingga aku dengan leluasanya menikmati lubang
idamanku. Kujulurkan lidahku ke arah asshole-nya dan kugelitik tepi
lubangnya. Kusibakkan bongkahan pinggulnya nan putih indah dan kuremas,
kugigit lembut.
“Gigit yang keras Tom. Keras, keras sekali,” pintanya.
Kulakukan permintaanya dan tampak kulit lembutnya kemerahan jadinya.
“Nikmat Tom, terus Tom.”
Tampak dia menikmati belaian lidahku di lubangnya sambil terus mengerang-erang.
“Tom aku nggak kuat, nggak kuaaatt, Tom.”
Kubiarkan ia mengerang nikmat.
“Please… Tom. Aku menginginkannya, Tom.”
“Aku ambil jelly dulu sayang,” kataku lembut.
“No, no, no! Aku ingin merasakannya apa adanya. Please, Tom.”
“Kau akan sakit nanti, sayang…”
Ia menggeleng sambil menatapku ke belakang.
“Fuck me, please…” katanya.
“Ini akan lama sekali, bolehkan?” tanyaku.
Ia menggumam. “Kalau kelamaan nanti kutinggal tidur lho, Tom,” katanya menggodaku.
Kini kuangkat sedikit pinggulnya untuk memudahkanku memasuki
tubuhnya. Ia menurut dengan pasrahnya. Batangku yang kehitaman berurat
kutempelkan di asshole-nya dan siap menyerang. Kugeser-geserkan dulu di
sekitar lubangnya. Ia menggerakan pinggulnya berusaha mencari glans-ku
dengan tak sabarnya. Kumainkan agar dia penasaran.
“Please, please, fuck me….Jangan lagi kau sisksa aku, Tom.”
Setelah puas melihatnya menantiku, mulailah penetrasi batang kemaluanku.
Ternyata sulit ditembus, dan ia kesakitan.
“Teruskan Tom, aku pasrah padamu.”
Kulakukan
penetrasi lagi dan kini glans-ku yang merah maroon lenyap dalam
tubuhnya. Kulihat ia menggigit bantal keras-keras dan keringat keluar
bagai banjir di punggungnya.
“Kau kesakitan sayang. Aku nggak mau menyakitimu, Say…” kataku menggodanya.
“No, please. Fuck me, do’nt stopping fucking me, Tom.”
Seiring
dengan berakhir ucapannya kubenamkan dengan keras seluruh batangku. Ia
teriak keras kesakitan. Tampaknya ia tak menyangka serangan yang
mendadak.
“Go, go, go, Tom.”
Dengan keras kukeluar-masukkan
batangku berkali-kali dan kulihat batangku kini mengkilat indah. Kuciumi
lehernya dengan lembut sambil kuhentakkan terus-menerus pinggulku ke
arahnya dan ia tidak mungkin menghindarinya karena pinggangnya kupegangi
erat-erat.
Kini kami berganti posisi ia menghadapku dan tusukan kerasku
berlanjut. Kusetubuhi lagi tetap dengan keras dan terus-menerus. Ia
mengerang-erang kadang teriak sambil menarik-narik rambutnya.
“Tom, oh thanks Tom…. More, more… please…”
Kurasakan spermanya berhamburan ke perutku, dadaku dan perutnya.
“Tom, habis sudah spermaku.”
Ia menunjukkan dua jari tangannya sebagai tanda ia mencapai puncak.
“Masih lama Tom?” tanyanya.
“Aku lelah sekali, tapi nikmatnya nggak dua.”
Aku
senyum saja sambil terus mengacungkan batangku di asshole-nya. Kadang
aku perlambat seranganku sambil kukecup dalam bibirnya.
“Masih lama, Tom? aku ketiduran lho nanti,” katanya.
“Boleh aku melanjutkan Sayang?” tanyaku.
Ia mengangguk.
Aku baru tersadar dan tidak tahu kalau Mr. Edward sudah tertidur,
karena sayup-sayup kudengar dengkur halusnya saat aku masih melakukan
serangan bertubi-tubi. Aku tak tahu bila ia tertidur karena saat itu
sebuah kakinya kuangkat dan ia dalam posisi miring ke kiri. Aku tidak
peduli karena ia sudah memberiku izin. Dan aku masih dapat merasakan
remasan asshole-nya pada batangku sebagai pertanda dalam tidurnya pun ia
masih merespon serangan rudalku. Cukup lama aku menari di dalam
tubuhnya, sampai aku mulai merasakan lahar spermaku akan keluar.
“Sayang, terimalah hadiahku ini. Ohhh…”
Lega
rasanya saat spemaku keluar dan rasanya aku tidak di bumi. Kucabut
segera batangku yang masih mengeras dan segera kuselimuti tubuhnya
dengan selimut tebal setelah sebelumnya kukeringkan keringatnya yang bak
banjir itu hari menjelang pagi. Kulihat bibirnya yang indah tersenyum
kecil.
Tiba-tiba phone di sebelah tempat tidur berbunyi. Saat kuangkat kudengar suara Mr. Kris di seberang sana.
“Tom, giliran aku kapannn…?” goda Mr. Kris.
“Besok bisa nggak…?”
Aku diam saja.
“Gila gua dikerjain rupanya!”
Belakangan aku jadi malu saat aku tahu mereka memasang mike kecil di bawah meja di samping tempat tidur Mr. Ed. Kokok ayam mulai terdengar saat aku meninggalkan hotel itu.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar