Sebut saja aku Ferry. Aku seorang mahasiswa berumur 22 tahun yang
tergabung dalam suatu kelompok pecinta alam, sebut saja: PX. Dari dulu
aku memang menikmati petualangan outdoor. Itu sebabnya kulitku menjadi
sedikit gelap terbakar matahari, dan tubuhku pun cukup kekar karena
hobiku adalah panjat tebing dan tak jarang aku ke fitness centre.
Suatu
hari, kelompok PX mengadakan acara berkemah di hutan selama tiga hari.
Pesertanya selain anggota kelompok, juga klub pecinta alam di smu-smu.
Tapi untuk keselamatan mereka, kondisi badan mereka juga diperiksa
terlebih dulu. Selain itu, peserta dibagi dalam regu-regu yang
masing-masing terdiri dari empat anggota kelompok PX dan dua orang dari
smu.
Sebelum berangkat ke lokasi, semua peserta berkumpul di
sekretariat klub kami untuk pembagian regu dan penjelasan mengenai medan
yang dilalui dan tugas-tugas apa saja yang harus dilakukan tiap regu.
Dalam reguku, dari kelompok PX, ada Doni, Rima, Lydia, Mirna, dan aku.
Di sana aku berkenalan pula dengan dua anggota reguku dari peserta smu.
Laila, siswi kelas 3 yang cukup manis dan Johan, yang ternyata masih
kelas 2.
Setelah mengepak perlengkapan dan meletakkannya ke
dalam bis, kami naik dan mulai menuju lokasi yang kurang lebih 230 km
dari sekeretariat kami. Johan ternyata memilih duduk disampingku. Ia
tampak sangat antusias mengenai perjalanan ini, ia bertanya banyak hal
dan pembicaraan itu cukup mengakrabkan kami berdua. Setelah beberapa
lama, aku mulai memperhatikan bahwa Johan bisa dibilang cukup berotot
dibandingkan remaja lain seusianya.
Wajahnya cukup tampan dan
kulitnya putih. Rambutnya mengingatkan aku pada rambutku sendiri sebelum
aku lulus dan kupanjangkan sampai sebahu seperti sekarang. Pakaiannya
menunjukkan kalau dia anak orang yang cukup berada. Saat pandanganku
mengarah pada celananya, aku cukup terkejut karena tonjolan yang ada di
tengah pangkal kedua pahanya tampak lebih besar daripada punyaku
sendiri. Padahal aku cukup bangga dengan ukuran “Senjata”-ku yang bisa
mencapai 18 cm. Semakin lama aku semakin penasaran tentang ukuran
sejatanya itu, tapi aku belum berani menanyakan kepada Johan. Tidak tahu
kenapa, senjataku itu lalu pelan-pelan bangun.
Karena kami
berangkat kira-kira jam 9.30 pagi, jadi sesampainya kami di sana sudah
cukup siang. Panitia menjelaskan sekali lagi tentang tugas-tugas
masing-masing regu. Selanjutnya acara pun dimulai. Setiap regu mulai
menelusuri rute yang ditetapkan. Setelah hari hampir gelap dan kami
telah menemukan tempat yang cukup luas, kami kemudian membangun dua
tenda, satu untuk perempuan dan satu untuk laki-laki. Aku, Laila, dan
temanku yang lain membuat api unggun dari kayu bakar yang sudah dibawa
dari sekretariat tadi. Setelah cewek-cewek berganti baju, tugas mereka
untuk memasak, sedangkan sekarang giliran kami yang cowok untuk berganti
baju.
Saat Johan melepas bajunya, aku bertambah yakin kalau
anak ini sering berlatih beban, otot-ototnya tebal dan membentuk. Aku
masih mengawasinya, ia lalu melepas celananya dan.. Oh! ternyata ia
tidak memakai celana dalam. Aku rasa itulah yang membuat tonjolan yang
tampak lebih besar dari punyaku. Kulihat penis Johan yang sedang
“Tidur”, ternyata sedikit lebih besar dari punyaku. Johan telanjang
bulat sekarang, sedangkan Doni hanya menggunakan celana dalam saja. Aku
sendiri sudah sering melihat tubuh Doni yang cukup seksi telanjang saat
berkemah dan kami cukup akrab. Tapi tidak terjadi apa-apa, meskipun aku
dengan susah apayah menahan nafsuku, setiap kali Doni memperlihatkan
perutnya yang rata. Yang sangat menarik perhatianku kini adalah anak SMU
ini.. Rambut hitam yang cukup tebal menghiasi sekeliling penis Johan,
demikian juga di ketiaknya. Ia tidak tampak seperti bocah berusia 17
tahun, malahan.. sangat dewasa.
“Lho, Mas Fer, nggak ganti baju?” suara Johan mengagetkanku.
“Oh, ya. Nanti saja”, ujarku sambil mencari bajuku di tas.
Aku
baru sadar kalau belum membuka selembar pun pakaianku. Rupanya aku
terlalu sibuk memperhatikan tubuh Johan. Kutunggu mereka semua keluar,
dan saat mulai berganti bahu, aku sadar bahwa ereksiku sudah penuh, dan
dari luar celana jeans-ku tampak tonjolan yang cukup besar. Aku jadi
bertanya-tanya apakah Johan atau Doni tadi menyadari bahwa aku sedang
terangsang.
Malam itu seperti acara perkemahan yang lain, diisi
dengan main musik, menyanyi, dan ngobrol. Tapi semua tak berlangsung
terlalu lama karena kami semua lelah dan ingin segera tidur. Kami dapat
telentang dengan cukup leluasa, karena tenda kami hanya diisi tiga
orang, sedang di tenda cewek diisi empat orang. Di sebelahku Doni yang
tidur dengan cepat sekali, dan di sampingnya lagi Johan. Meskipun aku
juga merasa sangat capai, tapi aku hampir tidak bisa tidur karena
teringat akan tubuh Johan yang putih mulus dan berotot. Dari tempatku,
aku tidak bisa melihat keadaan Johan, hal ini lalu membuatku berfantasi
yang bukan-bukan. Untunglah akhirnya aku bisa juga tidur meskipun tidak
begitu nyenyak.
Esok paginya ternyata aku dan Johan ketiduran,
yang lain sudah mandi dan sedang makan. Akhirnya setelah makan, aku dan
Johan bertugas untuk mencari kayu bakar, karena sudah habis untuk
menghangatkan makanan kami. Teman-temanku menunjukkan jalan untuk
mencapai sungai, bila kami ingin mandi.
Aku dan Johan kemudian
pergi ke dalam hutan. Kira-kira satu jam kemudian, kami sudah masuk
hutan cukup dalam dan kayu yang kami kumpulkan juga cukup untuk hari
itu. Aku mengajaknya kembali ke kemah, tapi Johan rupanya ingin mandi
dulu.
“Memangnya kamu bawa handuk?”
“Iya, tadi waktu Mas Ferry ngambil parang, aku ngambil handuk. Ayolah Mas, sama-sama nanti handuknya kan bisa gantian.”
“Nggak lah, aku ngasih kayu ini dulu, biar temen-temen nggak nyariin kita.”
“Okelah, sampai nanti ya Mas!”
Kami
berpisah di situ dan aku berbalik menuju kemah. Tapi setelah dua-tiga
menit aku baru sadar kalau Johan anak baru, jangan-jangan dia tidak bisa
kembali dan tersesat dalam hutan. Lalu aku tinggalkan kayu bakar di
sana dan kembali menyusul Johan. Ia sudah tidak tampak lagi, aku
langsung pergi ke sungai yang diceritakan temanku tadi.
Di sana,
aku menjumpai Johan sedang berdiri di tepi sungai membelakangiku dan..
telanjang. Aku putuskan untuk mengamatinya dulu sebelum menyusul. Aku
ingin melihat seluruh tubuh Johan yang seksi sekali lagi. Semua ingatan
tentang Johan yang sedang melepas bajunya memenuhi ingatanku dan
pelan-pelan penisku ereksi. Tiba-tiba aku perhatikan, tangan kanan Johan
berada di depan tubuhnya sehingga tidak bisa kulihat, tapi aku yakin
kalau tangan itu sedang bergerak maju dan mundur dengan pelan.. Johan
sedang onani di depan mataku! Melihat pemandangan itu, aku pun tak sabar
lagi. Nafsu memenuhi diriku dan aku nekad.
Aku berjalan menuju
bocah seksi itu sambil memanggil namanya. Johan menoleh ke arahku dan
tampak sangat terkejut. Aku bisa lihat kalau dia agak terengah-engah,
dari dadanya yang kembang-kempis. Saat aku sudah di sampingnya, aku
lihat penisnya masih tegang, bahkan pucuknya sudah berwarna merah tua.
Yang mengejutkanku, ukurannya berlipat dari kemarin, melebihi ukuran
penisku saat tegang, mungkin sekitar 22 cm.
“Eh.. e.. Mas Ferry nggak jadi kembali ya? Kenapa?” tanya Ferry dengan suara yang agak tersengal.
“Iya,
soalnya badan nih rasanya gerah. Kamu nggak merasa gerah?” Aku lalu
mulai melucuti pakaianku sampai akhirnya bugil seperti Johan. Johan
sepertinya memperhatikan tubuhku, mungkin karena ini yang pertama
kalinya ia melihat aku bugil.
“Johan, kok bengong? Gerah nggak?”
“Oh, oh.. iya gerah.”
“Ya pasti, soalnya kamu habis main sih.”
“Ma.. main?”
“Mas Ferry lihat kok tadi.” Aku melihat wajahnya, dia menunduk mungkin malu ketahuan.
“Udah, gitu aja dipikirin. Mas Fer juga sering kok main sendiri. Tapi lebih seru kalau kita main berdua.”
Johan
tampak terkejut dan sebelum dia mencerna lebih jauh ucapanku, aku
mendekapnya dengan erat. Johan berontak, tapi aku mendekapnya lebih erat
lagi. Aku merasakan penis Johan yang panas dan tegang menekan perutku.
“Mas Fer, lepas, Mas! Apa-apaan nih?” Johan setengah berteriak.
“Sstt.. tenang aja! Kita main. Pasti seru dan enak! Aku udah nggak tahan.. kamu terlalu seksi!”
“Mas,
jangan!” Kini suara Johan lebih mirip erangan daripada teriakan, dan
ini membuatku semakin terangsang. Kucium dan kujilati lehernya, aku
ingin dia merasakan gejolak nafsu yang aku rasakan saat itu.
Dia terus meronta dalam pelukanku yang kuat sambil bergumam, “Mass.., jangann.., Mass..!”
Erangan
Johan membuatku makin ganas, selesai kujilati lehernya, aku ambil
kepalanya dengan tangan kiriku sementara tangan kananku masih
mendekapnya. Kudekatkan wajahnya dengan wajahku, dan kucium dia dengan
penuh nafsu. Saat itu, aku sadar bahwa Johan juga menginginkan
“Permainan” ini, lidahnya dengan terampil membalas ciumanku, sedang
kedua tangannya membelai rambut panjangku, menekan wajahku agar bibirku
tetap menempel pada bibirnya. Kuputuskan mengambil langkah lebih jauh,
kupegang senjata Johan yang dari tadi tegang dan menekan-nekan pusarku.
Kuelus pelan, dan kemudian aku genggam sebelum akhirnya aku kocok.
Johan tersentak sedikit, ia melepaskan ciumannya dan mulai mendesah, “Aduh, Mas! Ahh.. uuhh..!”
“Jangan, Mas! Ini.. ini..”
“Ini nikmat khan Johan? Hmm?” sambungku sambil terus memompa penis putih itu.
“Ohh.. iya, Mass.. teruss.. enakk..”
Kulihat
Johan memejamkan matanya sambil menengadah, menikmati betul-betul
gesekan jariku pada senjatanya. Tampaknya kerjaku sangat baik.. Perlahan
kurasakan kedua tangannya turun dari kepalaku, meyusuri punggungku dan
sampai pada kedua pantatku. Johan meremas-remasnya, seirama dengan
kocokan tanganku pada penisnya.
Beberapa saat kemudian, Johan menggeliat, hampir lepas dari dekapanku.
“Mass.. bentar lagi nih.. aku.. nggak kuatt..!”
“Agghh!”
Crott..
crott.. crott..! Senjata Johan memuntahkan peluru maninya, membasahi
tubuhku dan tubuhnya sendiri pula, karena Johan belum lolos dari
pelukanku. Air maninya yang hangat terasa sangat nyaman di dada dan
perutku. Tubuh padat Johan menggelinjang, mengisyaratkan kenikmatan yang
Johan rasakan. Tubuhnya yang berotot dan dibasahi keringat, menggeliat
dalam pelukanku, memberiku pengalaman erotis dan membuat nafsuku
bergelora, wajahku terasa panas. Aku terus memompa penis Johan, aku
ingin menguras isinya. Dan satu tembakan lagi keluar.. menyentuh
daguku.. Kuremas penis Johan yang mulai lemas.
“Mass.. ahh.. enakk.. enak bangett..!”
Kulihat wajah Johan yang tersenyum puas dan merona merah. Penis Johan terus kuremas dan terasa semakin lemas..
“Aduhh.. Mas! Ampun! Enak banget! Terusin..!”
Kueratkan lagi remasanku pada penisnya, agar Johan benar-benar puas.
“Ohh!
Ampun.. ahh!” dan akhirnya Johan jatuh terduduk dihadapanku. Pasti
seluruh tubuhnya lemas, sampai-sampai kakinya tak mampu menopang dirinya
sendiri.
Johan masih tersengal-sengal, mencoba mendapatkan
udara lebih banyak, menghimpun tenaganya lagi.. Tapi aku sudah tidak
tahan. Penisku yang sedari tadi tegang, kuusapkan pada pipinya, dan lalu
kumasukkan dalam mulutnya. Kehangatan rongga mulut Johan terasa sungguh
nikmat. Johan terbelalak, nampaknya ia masih susah bernapas. Kurengkuh
kepalanya, dan kugerakkan maju mundur. Johan sudah bisa beradaptasi,
lidahnya ternyata juga terampil memanjakan batang kejantananku.
Dia
terus mengulum kemaluanku, dan sekali lagi meremas pantatku. Aku
memanjakan diriku sendiri dengan memencet-mencet puting susuku. Dan aku
meratakan sperma Johan yang tadi membasahiku dengan tanganku yang lain.
Ohh.. sungguh nikmat.
“Ahh.. Johan.. kamu pinter bangett.. Ayo.. terusinn..!”
Beberapa detik kemudian aku merasakan denyutan di zakarku.
“Johann.. aku.. aku.. mau..”
Johan semakin ganas dan dengan segera spermaku membanjiri mulut dan tenggorokannya.
“Oohh! Yess..! Ahh..!”
Begitu
banyak.. hingga sebagian ada yang menetes keluar dari sudut-sudut
bibirnya. Aku pejamkan mata, merasakan betul kenimatan yang kurasakan,
ketika Johan menjilati pusarku dan terus ke atas, menjilati sisa-sisa
spermanya sendiri. Dan ketika sampai di dadaku, Johan mengulum dan
menggigit puting susuku, dan saat itu satu tembakan lagi keluar dari
penisku mengenai penis Johan. Kami lalu berciuman sekali lagi, merasai
sperma kami yang telah bercampur.
Kami turun ke sungai
bersama-sama, membersihkan tubuh kami yang basah oleh keringat, mani,
dan air liur. Aku baru saja keluar dari sungai dan hendak mengeringkan
tubuh dengan handuk Johan, ketika Johan memanggilku.
“Mas Fer, makasih! Main berdua emang enak banget!” kata Johan dengan senyum lebar yang bagiku sangat manis.
“Suka ya? Aku mau kok kalo diajak main lagi.”
“Boleh ya, Mas Fer! Tapi kalau boleh aku mau yang lain nih!”
“Oh ya? Apaan?”
Johan
ikut keluar dari sungai, tampak lebih seksi karena kilatan matahari
yang memantul di tubuhnya yang basah. Setelah “Kerja berat” yang
dilakukan penisku, kini ia mulai ereksi lagi. Johan mendekatiku,
memelukku, lalu tangannya bergerak ke bawah. Kedua tangannya membelah
pantatku, dan ia berbisik, “Johan mau ngerasain punya Mas Fer yang
ini..”
Aku tersenyum, lalu kudorong dia ke sungai, dan aku ikut terjun ke dalam. Aku bersiap memulai permainan baru kami..
E N D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar